Keutamaan Puasa Menurut Imam al-Ghazali — Puasa Ramadan merupakan puasa yang dilaksanakan pada bulan Ramadan yang jumlah harinya antara 29 dan 30 hari. Waktu pelaksanaan puasa Ramadan dimulai ketika Matahari terbit di waktu fajar hingga matahari terbenam. Prosesnya yaitu menahan diri dari kegiatan makan, minum dan kegiatan lain yang dapat membatalkan puasa.
Menurut ajaran Islam, puasa di bulan Ramadan dapat menghapus kesalahan atau dosa yang telah diperbuat, asalkan dilakukan dengan iman dan mengharapkan pahala dari ridha Allah SWT. Puasa pada bulan Ramadan merupakan pelaksanaan dari rukun Islam yang keempat.
Puasa itu Istimewa
Keutamaan Puasa Menurut Imam al-Ghazali — Mengenai keistimewaan puasa di sisi Allah SWT ini, Hujjatul Islam Abu Hamid bin Muhammad al-Ghazali dalam kitabnya “al-Arba’in fii Ushuul al-Diin” menjelaskan bahwa keistimewaan ini tidak lain karena dua hal berikut.
Pertama, adalah karena puasa merupakan ibadah yang bersifat individual untuk menjaga diri dari perbuatan maksiat. Puasa juga merupakan sebuah amal ibadah yang bersifat rahasia, tidak dapat diketahui kecuali hanya Allah dan orang yang melakukan puasa, tidak seperti shalat, zakat dan lain sebagainya.
Kedua, adalah puasa sendiri merupakan cara mencegah dan melemahkan musuh Allah SWT, dan seburuk-buruk musuh Allah adalah syaithan. Sesungguhnya syaithan tidak akan menjadi kuat kecuali hanya dengan perantara syahwat hawa nafsu yang mengalahkan manusia.
Meningkatkan Kualitas Puasa
Keutamaan Puasa Menurut Imam al-Ghazali — Imam al-Ghazali selanjutnya membagi lima hakikat puasa bagi orang khusus (shaum al-khusus) yang patut di teladani dengan baik agar kualitas puasa kita mencapai derajat yang tinggi (al-darajat al-‘ula). Sebagaimana termaktub dalam kitab Ihya’ Ulum ad-Din Bab Asrar al-Shaum, Imam al-Ghazali mendefinisikan puasa khusus sebagai berikut: “Puasa yang dilakukan oleh seorang yang shalih di mana ia mempuasakan seluruh anggota badannya secara sempurna”. Mempuasakan diri di sini adalah menahan diri dari segala perbuatan dan perkataan yang dibenci oleh Allah SWT walaupun sedikit.
Pertama, menahan pandangan dari apa yang dibenci oleh-Nya atau yang dapat membimbangkan dan melalaikan hati dari mengingat kepada-Nya. Rasulullah SAW bersabda, “Pandangan merupakan panah beracun milik iblis la’natullah. Maka barang siapa yang menjaga pandangannya, karena takut kepada Allah semata, niscaya Dia akan memberikan keimanan yang manis yang berasal dari dalam hatinya”.
Baca juga: Fadhilah Ramadhan Membaca al-Qur’an
Kedua, menjaga lisan dari perkataan tidak berfaedah, berdusta, mengumpat, fitnah, perkataan keji dan kasar serta memprovokasi. Selanjutnya, menurut Al-Ghazali, menjaga lisan dari perkataan sia-sia, berdusta, menggunjing, memfitnah, berkata kotor (keji) dan kasar, serta menebar permusuhan. Lebih banyak berdiam diri (tidak berbicara yang tidak berfaedah), memperbanyak dzikir dan membaca Al-Qur’an. Inilah puasa lisan (shaum al-lisan).
Ketiga, menjaga pendengaran dari segala sesuatu yang tidak terpuji. Mencukupkan (menjaga) pendengaran dari segala sesuatu yang dibenci oleh Allah karena sesungguhnya segala sesuatu yang dilarang untuk diucapkan berlaku pula untuk didengarkan. Dalam hukum Allah, mendengar yang haram sama dengan memakan yang haram, seperti yang difirmankan-Nya: “Mereka gemar mendengar kebohongan dan memakan yang tidak halal”. (QS al-Maidah [5]: 42).
Keempat, menurut Al-Ghazali, menjaga kesucian setiap anggota badan dari sesuatu yang syubhat (tidak jelas apakah ini haram atau halal). Menjaga kesucian setiap anggota badan (tangan, kaki, perut, dll) dari perkara yang syubhat, terlebih yang haram. Misalnya, mencukupkan diri dari makanan yang halal saja dan meninggalkan yang haram.
Baca juga: Keutamaan Rahmat Allah SWT
Kelima, tidak memakan makanan yang berlebihan. Tidak memperbanyak makanan yang berlebihan ketika berbuka. Sebab tidak ada sesuatu yang lebih dibenci Allah SWT selain perut yang disesaki (over capacity) dengan makanan halal. Di antara manfaat puasa adalah mengalahkan setan dan menaklukkan syahwat. Bagaimana semuanya itu akan tercapai, apabila jika berbuka perut kita diisi makanan secara berlebihan”. Benar ia berpuasa tidak makan dan minum, namun ketika berbuka ia menjejali perutnya dengan segudang makanan.
Tentu ini tidak baik, berpuasalah secara “benar” dan berbukalah juga secara “benar”. Benar di sini bermakna tidak hanya benar lahiriyah, namun secara batiniyah juga. Dalam konteks memakan makanan yang berlebihan, secara lahiriyah puasanya tetap sah, akan tetapi secara hakikat sesungguhnya ia tidak melakukan intisari dari puasa itu yaitu menahan (al-imsak).